Cerpen - Aku Yakin, Aku Pasti Bisa!
Aku Yakin, Aku Pasti Bisa!
Karya: Yumahest
Seorang remaja
wanita yang sangat polos, culun, bahkan terkesan aneh bagaikan alien yang tidak
sengaja terjatuh ke planet bumi. Di sekolahnya pun ia tidak memiliki teman
walaupun hanya sekedar untuk diajak bicara. Parahnya lagi, selama menempuh
pendidikan ia belum pernah mencicipi duduk di bangku paling depan, ia selalu saja
mencari bangku paling belakang yang menurutnya lebih pantas untuk ia tempati. Hari-harinya
di sekolah terus saja seperti angin berlalu, tidak ada yang istimewa sedikitpun,
semuanya datar. Ia hanya menghabiskan waktu untuk diam, mendengarkan celoteh
teman-temannya terhadap dirinya, mendengarkan guru saat menerangkan pelajaran,
dan pikiran yang selalu mengacu untuk segera pulang.
Kelas begitu
ramai, melebihi ramainya kebisingan pasar. Semua orang bergosip dan membentuk
kelompok secara melingkar, seperti ibu-ibu arisan. Itulah yang mereka lakukan
setiap harinya, sampai-sampai gendang telingaku ingin pecah ketika mendengarnya.
“Oh Tuhan, kapan
bel pulang berbunyi?” desahku sambil melipat tangan ke atas meja kemudian menempelkan
dahi ke tangan.
Jam kosong
seperti ini sangat membosankan bagi orang-orang sepertiku.
“Huuh!
lebih baik aku tidur saja daripada mendengar gosipan mereka. Apalagi ini jam
pelajaran terakhir, di siang hari begini membuatku semakin ingin terlelap,
ditambah lagi cuaca yang sangat mendukung.” kataku dalam hati.
Aku
pun mendengarkan alunan lagu dari headset
yang kukenakan hingga membuatku ketiduran bahkan tidurku pulas sekali. Headset dan ponsel selalu aku bawa ke sekolah, mereka lah teman
yang setia menemaniku disaat boring
menerpa diriku.
***
Kringggg..
Bel pulang berbunyi nyaring, tapi suara bel itu tidak berhasil membangunkanku,
beberapa menit kemudian kelas menjadi sangat gaduh. Aku terbangun karena
terkejut ketika mendengar sesuatu, yapp itu suara bantingan pintu, sepertinya
tradisi memperebutkan pintu saat pulang telah mendarah daging pada diri mereka,
seperti warga yang sedang berebut sembako. Saat mereka telah meninggalkan
kelas, suasana menjadi berubah seperti kuburan, sangat sepi. Di situlah aku
merasa senang dan merasa sangat nyaman, seolah aku sedang berada dalam duniaku
sendiri, dunia yang hening. Aku memang lebih suka keluar kelas terakhiran, itu
merupakan suatu hal yang sudah menjadi kebiasaan rutinku. Setelah aku merasa
puas menikmati angin sepoi-sepoi dari jendela kelas, aku pun memutuskan untuk
segera pulang.
Sesampainya di
rumah, aku menyalami ibuku dan kemudian langsung bergegas pergi menuju kamarku
untuk segera mengganti baju seragam sekolah yang tadi kukenakan.
“Bintang sayang,
ayo turun makan siang dulu, ini mama masakin makanan kesukaan kamu lho.” bujuk
mamaku.
“Iya ma, aku
turun.” Jawabku singkat.
Kami pun makan
tanpa banyak bicara.
“Bintang, gimana
tadi di sekolah? Apa ada peningkatan belajarmu?” tanya mamaku setelah kami
selesai makan siang.
“Hmm, masih
kayak biasanya ma. Gak ada yang meningkat.” ujarku pelan.
“Ya udah gak
apa-apa, belajar yang rajin ya sayang, biar kamu gak diejek terus sama
temen-temen kamu, mama yakin kalau kamu pasti bisa ngalahin mereka.” ujar mama
menasihatiku.
“Iya ma.”
jawabku malas-malasan.
Yahh, mamaku
tidak mungkin memarahiku, mungkin mamaku sudah lelah mendengar jawabanku yang
selalu itu-itu saja, dan mungkin juga karena mamaku sudah tahu kalau sejak TK
aku tidak pernah mendapatkan prestasi apa pun, baik di bidang akademik maupun
nonakademik. Aku sendiri saja tidak tahu skill
apa yang tertanam dalam jiwaku ini, karena aku tidak pernah merasa
tergila-gila dengan sesuatu. Apalagi di bidang olahraga, yang ada malah aku
benci banget sama olahraga, mungkin alasanku tidak menyukai olahraga karena
kurasa hal itu akan sangat menguras tenagaku.
Lamunanku
seketika membuyar ketika mama menyapaku.
“Sayang? Kamu
melamun ya?” tanya mamaku sambil melambai-lambaikan tangan di depan wajahku.
“Eh iya ma, maaf
ma. Hmm, ma aku ke kamar dulu ya.” kataku sambil bangkit dari kursi.
“Oh iya sayang,
kamu istirahat aja dulu. Mama sampe lupa, pasti kamu capek banget karena belum istirahat
dari pulang sekolah.” ujar mamaku sambil mengulum senyum dan berakhir pada
ciuman hangat dari seorang ibu.
“Iya ma, aku
sayang mama.” ujarku sembari memeluk mamaku.
Air mataku
berlinang, tapi aku berusaha untuk menahannya supaya mamaku tidak melihatnya.
Aku tidak ingin membuat mamaku sedih, aku tidak tega melihat beliau sedih
karenaku.
Setelah itu aku
bergegas pergi ke kamar, merebahkan tubuhku ke atas kasur sambil mengingat
kembali kata-kata yang tadi mama ucapkan padaku. “Ma, maafin aku.” ujarku dalam
hati. Perkataan mama masih saja belum bisa hilang dari otakku. Segera
kulangkahkan kaki menuju meja belajar yang tak jauh dari tempat tidurku, lalu
kuhempaskan pantatku ke sebuah kursi, menaruh ponsel disisi meja sebelah kiri
kemudian membuka laci meja sebelah kanan, mengambil sebuah buku Diary dan menggoreskan tinta pena secara
perlahan hingga membentuk sebuah tulisan.
“Mengapa
aku sangat bodoh? Aku sudah mencoba fokus belajar tapi tetap saja sangat sulit bagiku
untuk memahaminya, aku ingin membuat orangtuaku bangga kepadaku, tapi aku
bingung mau mulai dari mana. Aku ingin seperti Reza yang bisa menyenangkan hati
orangtuanya, selalu disanjung-sanjung banyak orang, dan tentu saja memiliki
banyak teman”.
Tanganku kaku,
aku sudah tak tahu lagi harus menulis apa. Lalu kututup buku Diary dihadapanku, menundukkan kepala
dalam-dalam sesekali menghela napas panjang. Air mataku mulai berlinangan tak
sabar ingin menetes, bahkan hanya dengan memejamkan mata saja air itu sudah
membasahi pipiku, aku menangis. Seketika terlintas beberapa pertanyaan dari
dalam otakku.
“Maukah Reza
membantuku agar bisa pintar seperti dia? Tapi apakah dia mau berteman denganku?
Bagaimana caranya supaya Reza mau berteman denganku dan bahkan membantuku?
Ahhh, tapi mana mau Reza berteman sama orang sepertiku? Apalagi Reza kan sang
Pahlawan Super Pintar di kelas, mana mau dia berteman denganku, duh mimpimu
terlalu tinggi tau nggak sih Bin.” ujarku dalam hati sambil menepuk dahiku
dengan tangan kanan.
Clingting...
aku tersontak kaget karena mendengar dering ponselku, kulihat layar ponselku,
ada pesan masuk yang aku tidak tau siapa pengirimnya karena nomor itu baru dan tidak
ada di daftar kontakku. Aku tidak langsung membuka pesan, mataku masih membelalak
melihat ponsel dengan penuh keheranan, sebuah pertanyaan muncul di otakku.
“Ini nomor siapa
ya?” pikirku dalam.
Lalu kucoba
untuk membuka pesan itu, isi dari pesan itu ialah “Hai Bintang.” Mulutku menganga, pertanyaan-pertanyaan semakin
menyerbu otakku.
“Ini siapa sih
ya? Kok tau namaku? Apakah dia sekelas denganku? Tapi kan aku gak punya temen
di kelas, terus dia dapet nomor ponselku dari mana?” gumamku.
Tiba-tiba masuk
pesan baru lagi dari pengirim yang sama. Aku langsung cepat-cepat membukanya
dan isi dari pesan itu adalah “Hai
Bintang, ini aku Reza. Oh iya pasti kamu bingung kan gimana aku bisa punya
nomor ponselmu?”
Aku semakin
bengong karena pemilik nomor itu ialah Sang Pahlawan Super Pintar di kelasku,
Reza Andika Prihatmaja.
Aku pun segera
membalas pesan tersebut.
“Eh
Reza, iya nih Za kok kamu bisa punya nomor ponselku, dapat dari mana?”
balasku.
Tanpa menunggu
lama, Reza sudah membalas pesan dariku.
“Dapat
dari ponselmu Bin, hehe” balasnya singkat tapi mampu
membuat mataku terbelalak membacanya.
Banyak
pertanyaan muncul di otakku, tanpa berpikir panjang kuketikkan semua pertanyaan
konyol itu.
“Hah,
dari ponselku? Gimana bisa? Kayaknya aku gak pernah tuh pinjemin hpku ke orang
di kelas, apalagi kamu. Aku kan gak punya temen di kelas.”
balasku seperti sedang mewawancarai narasumber.
“Hehe
iya Bin dari ponselmu, memang kamu gak pernah minjemin hp kamu ke aku. Tadi di
sekolah ponsel yang kamu pegang mau
jatuh waktu kamu ketiduran. Aku gak tega mau bangunin kamu, karena kayaknya
pulas banget kamu tidurnya hehe. Jadi ponsel kamu aku ambil pelan-pelan supaya
kamu gak kebangun, dan sebelum aku taruh ke laci meja kamu, nomor ponsel kamu
aku salin ke hpku. Maaf ya Bin, soalnya aku pikir kamu butuh teman untuk
berbagi cerita di kelas. Boleh kan Bin aku jadi temenmu?”
balasnya panjang kali lebar kali tinggi dan disertai pertanyaan yang membuat
mulutku menganga.
“Oh
gitu ya, iya gak apa-apa Za. Hmm, iya boleh. By the way, kok kamu mau jadi
temenku sih Za? Padahal kan kamu tau sendiri orang-orang di kelas benci
dan jijik banget buat berteman sama
aku.” balasku.
“Karena
aku tau kamu sering kesepian di kelas, bahkan kamu dianggap transparan sama
mereka. Oh iya, mulai besok aku mau pindah tempat duduk di samping tempat
dudukmu, harus boleh ya Bin hehe, biar kamu gak melamun terus wkwk.”
balasnya sambil meminta yang berkesan seolah memaksa.
“Terserah
kamu aja deh.” balasku singkat dan pasrah.
“Oke
Bin, sampai ketemu besok ya.” balasnya kemudian yang
sekaligus menjadi perbincangan terakhir pada hari ini, karena aku tidak lagi
membalas pesan dari Reza.
***
Tok
tok tok.. mama mengetuk pintu kamarku.
“Sayang ayo
bangun, nanti kamu terlambat ke sekolah lho” ujar mama membangunkanku dari
seberang pintu kamarku.
Kulihat jam
weker di meja sebelah tempat tidurku, “oh
my god, sudah jam 6 lewat”, ujarku lirih.
“Iya ma, Bintang
udah bangun kok” sahutku.
“Nanti kalo udah
selesai, cepat turun ya sayang” ujar mamaku mengingatkan untuk sarapan terlebih
dahulu sebelum pergi ke sekolah. “Iya, ma.” jawabku singkat. Tanpa berlama-lama
lagi aku langsung bergegas mandi dan bersiap secepat mungkin.
Setelah selesai
bersiap, aku langsung menuju ruang makan, ada mama sama papa disana. Selesai
sarapan, aku dan papa bergegas pergi. Setiap hari papa lah yang mengantarku ke
sekolah, karena kantor papa melewati sekolahku. Untung saja hari ini jalanan
tidak terlalu macet, sehingga aku tidak terlambat masuk sekolah. Yahhh, aku
sampai ke depan gerbang sekolah 15 menit sebelum gerbang akan ditutup.
“Pa, aku masuk
dulu ya.” ujarku sambil menyalami tangan papa.
“Iya sayang, yang
rajin ya belajarnya.” ujar papa sambil mengusap kepalaku disertai senyuman
tipis yang menenangkan hati.
***
Di depan pintu
kelas, Reza menghadangku, tangannya direntangkan sampai memenuhi pintu. “Jam
segini kamu baru berangkat? Biasanya kalo aku masuk kelas, kamu udah ada di
kelas.” ujarnya sambil menurunkan tangan. Aku yang mengetahuinya langsung
melangkahkan kaki untuk segera masuk tanpa megucap sepatah kata pun. “Eh eh eh,
mau kemana?” ujar Reza menghentikanku dengan tangan kanannya di bahu kiriku. “kamu
mau masuk sendirian? Gak bisa, aku harus ikut!” ujarnya sembari menarik lengan
tanganku sehingga jalanku tepat berada di sampingnya.
Setelah duduk
dan mengikuti pelajaran pertama aku tetap mengunci mulutku. Sembari menunggu
guru pelajaran berikutnya masuk, aku masih duduk dengan sikap tegang, entah
kenapa tak biasanya aku tegang begini. Mungkin karena Reza berada di sampingku,
yaa aku menyukai Reza, tapi tidak mungkin Reza menyukai orang sepertiku.
Reza yang
awalnya menghadap kedepan tiba-tiba mengubah posisi duduknya ke samping kanan,
memutarkan posisi dudukku 90° ke kiri, sehingga kami berhadapan. Aku masih
tetap diam dengan kepala tertunduk, aku tidak berani bertatapan dengannya.
“Kok kamu dari
tadi diam aja sih? Kan ada aku sekarang, masa aku dicuekin. Kamu udah ada temen
sekarang. Bin, coba deh liat aku.” ujarnya.
Aku menuruti
permintaannya, sekarang aku melihat kedepan. Dag dig dug, jantungku berdebar tidak beraturan karena Reza terus
menatapku. Kami pun saling bertatapan dalam diam.
Tatapan kami
berakhir ketika guru Bahasa Indonesia masuk, guru menjelaskan hingga akhirnya
diberi PR. “Kerjakan dengan teman sebangkumu”, tulisan itu tertera di buku
cetak.
“Eh Bin nanti
langsung kerjain aja yuk PR nya, ngerjainnya di rumahmu aja. Nanti kamu pulangnya
sama aku aja.” ujar Reza setelah guru bahasa Indonesia meninggalkan kelas.
“Hmm, oke Za.” ujarku
sambil tersenyum tipis.
“Oh iya udah
istirahat nih Bin, kamu gak mau ke kantin?” tanya Reza padaku. Aku hanya
menggelengkan kepala.
“Bentar ya Bin,
aku ke kantin dulu. Kamu mau pesen dibeliin apa?” Reza menawariku.
“Gak ada Za.”
jawabku singkat. Reza pun segera berlalu dari hadapanku.
Setelah Reza
pergi, Katty cs menghampiriku sambil memarahiku karena Reza pindah duduk di
sampingku yang awalnya Reza duduk di depan bangkunya. Sebelum Katty menghajarku,
tiba-tiba Reza datang melindungiku. Reza balik memarahi Katty. “Aku sendiri kok
yang mau duduk sebangku sama Bintang, Bintang gak pernah nyuruh aku, malahan
aku yang maksa ke dia kalo aku mau duduk sebangku sama dia” Reza menjelaskan.
Katty tak bisa berkata apapun dan akhirnya memutuskan untuk meninggalkan kami.
Reza menyuruhku
duduk, dia memberiku roti dan minum yang tadi sengaja ia beli untukku, dia tersenyum.
“Udah, gak usah dipikirin sama yang Katty bilang tadi.” Ujarnya berusaha
menenangkanku.
***
Tak terasa
pelajaran hari ini telah selesai, aku beranjak dari tempat dudukku dan lewat di
samping Reza yang sedang berdiri di dekat bangkunya. “Eh eh eh, mau kemana
nona? Kamu kan pulang sama aku, aku nungguin kamu kok malah mau ditinggalin.”
ujarnya sembari menarik lengan tanganku hingga langkahku benar-benar terhenti.
Sesampainya di rak sepatu, Reza menungguku mengenakan
sepatu, aku mengenakannya tepat dihadapan Reza. Setelah selesai aku pun
berdiri, tiba-tiba ada yang mendorong Reza dari belakang; aku terjatuh ke
lantai karena tidak sengaja terdorong oleh tangan Reza yang kemudian Reza pun
juga terjatuh, tubuh Reza menimpa tubuhku.
Suasana seketika
menjadi hening, semua orang terfokus pada kami. Kemudian Reza bangkit dan
membantuku berdiri. Aku menangis dan kemudian berlari meninggalkan tempat itu,
Reza mengejarku dan terus mengucapkan permintaan berulang kali, tapi aku tetap
terus berlari.
“Bin, tunggu.
Aku minta maaf.” teriak Reza sambil terus mengejarku.
Hingga sampai di
dekat taman depan sekolah Reza berhasil mengejarku, dia mencekal pergelangan
tanganku dan mengajakku duduk di taman.
“Bin, aku minta
maaf.” ujarnya sambil menundukkan kepala. “Itu tadi kecelakaan, ada orang yang
mendorongku tadi.” ujarnya lagi menjelaskan.
“Iya, udah aku
maafin kok Za. Itu tadi bukan salah kamu kok.” ujarku.
“Tapi ngapa kamu
malah lari ninggalin aku Bin?” tanyanya.
“Semua orang terfokus
sama kita Za, aku malu.” ujarku sambil masih meneteskan air mata.
Reza
mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya, “Bin, maaf ya, karena aku kamu
jadi nangis, dan aku pula yang harus menghapus air mata itu.” ujarnya sambil
menghapus air mata yang bercucuran dipipiku dengan sangat lembut. “Udah, kamu
jangan nangis lagi ya.” ujarnya sambil tersenyum.
Tiba-tiba Reza
menarik lengan tanganku, mengajakku ke parkir motor. Dia mengajakku untuk
segera pulang. Selama di perjalanan, aku hanya diam, tapi Reza terus
menghiburku dengan leluconnya, hingga akhirnya kami tertawa bersama.
***
Setelah sampai
di rumahku, mama langsung membukakan pintu.
“Sayang, dia
siapa? Temen kamu?” Mama bertanya padaku sedikit heran, karena baru kali ini
aku pulang sama teman.
“Iya ma, dia
temen sebangku aku mulai hari ini. Namanya Reza, dia siswa paling pintar di
kelas.” Kataku menjelaskan.
“Reza tante,
temen sebangkunya Bintang.” Reza menyalami tangan mamaku.
“Ayo masuk dulu,
silakan duduk dulu nak Reza, tante mau buatin minum dulu. Oh iya nak Reza mau
minum apa?” ujar mamaku.
“Terserah tante
aja, sama kayak minumnya Bintang aja deh tante hehe.” Ujar Reza sambil tertawa
kecil.
“Oke, tunggu
bentar ya nak Reza.” Ujar mama sembari meninggalkan kami.
15 menit
kemudian mama datang membawa minuman dan beberapa makanan, lalu meletakannya di
atas meja.
“Oh iya, nak
Reza di semester 1 kemarin dapat rangking berapa?” Tanya mamaku pada Reza.
“Alhamdulillah
rangking 1 tante.” Katanya sambil menggaruk kepala.
“Kalau Reza sih
dari kelas 1 semester 1 sampe kelas 2 semester 2 ini juara umum terus ma”
sahutku.
“Subhanallah nak
Reza, benarkah yang dikatakan Bintang?” tanya mamaku lagi.
“Hehe, iya
tante.” Jawab Reza.
“Hmm, tante
boleh minta tolong sama nak Reza gak?”
“Minta tolong
apa tante?” tanyanya penasaran.
“Nak Reza bisa
ngajarin Bintang gak? Tahun depan kan sudah mau UN, Seleksi Masuk Perguruan Tinggi
juga. Sedangkan Bintang dari kelas 1 SMA gak ada peningkatan. Siapa tau kalau
diajarin nak Reza dia jadi bersemangat karena ada teman belajar. Kalau bisa
belajar barengnya setiap hari ya nak Reza, sehabis pulang sekolah. Gimana nak
Reza?” tanya mamaku.
“Eh, apaan sih
ma.” Sahutku.
“Oke tante, bisa
kok. Jadi, setiap hari Bintang pulangnya sama aku aja ya tante hehe.” Jawab
Reza menyetujui permintaan mamaku.
“Eh Za, berarti
pulang sekolah langsung belajar bareng di rumahku? Masih pake seragam sekolah
langsung belajar?” tanyaku kebingungan.
“Ya enggak lah
Bin, kamu ganti baju biasa dulu, makan dulu, habis itu baru kita belajar.” Reza
menjelaskan.
“Ya udah kalau
gitu.” Jawabku singkat.
“Oke, besok kita
mulai belajar bareng yaa hehe. Ya udah ayo kita kerjain PR nya.” Ujar Reza.
“Ya udah, ayo.”
***
Setelah selesai
mengerjakan PR, Reza pamit pulang.
“Tante, Reza
pulang dulu ya.” Ujarnya sembari menyalimi tangan mama.
“Iya nak Reza,
hati-hati ya.” Kata mama.
Setelah Reza
menghilang dari pagar rumah, aku membalikkan tubuhku dan segera ingin pergi ke
kamar. Tiba-Tiba...
“Bintang, ayo
duduk di kursi situ dulu.” Kata mama sambil menunjuk kursi tempat kami tadi
duduk.
Aku pun duduk di
samping mama.
“Sayang, kamu
kan udah kelas 3. Jadi belajar yang rajin ya, biar bisa kayak Reza. Biar kamu
lulus, terus bisa lulus Seleksi Perguruan Tinggi Negeri di Universitas X Plus.
Kamu pasti bisa sayang, percayalah kalau kamu bisa selagi kamu mau belajar nak.
Usaha tidak pernah menghianati hasil, ingat kata-kata mama.” Ujar mama
menasehatiku dan kemudian memelukku.
“Oke ma, Bintang
akan berusaha dan akan selalu ingat kata-kata mama.” Ujarku.
Keesokan harinya
sepulang sekolah, aku dan Reza mulai belajar bersama. Reza selalu menjelaskan
semua yang kutanyakan. Aku juga mencoba mengerjakan soal-soal, dan Reza lah
yang mengecek jawabanku. Kegiatan belajar bersama kami lakukan hingga tak
terasa ujian semester 1 telah selesai dilaksanakan, dan orang pertama yang
penasaran dengan hasil ujianku adalah Reza, karena dia takut gagal mengajariku
dan takut membuat mamaku kecewa kepadanya.
Pengumuman juara
kelas di umumkan di lapangan upacara, hingga tibalah saatnya kelas 12 IPA 1.
“Juara 3 diraih oleh Shelly Permata Putri, juara 2 diraih oleh.... Hayo ada
yang tau siapa?” Kata Bapak Kepala Sekolah.
“Diana Habsari,
pak.” Kata salah seorang siswi di kelasku, karena Diana lah yang biasanya
mendapatkan juara 2 di kelas kami.
“Salah.” kata
pak Doni sambil melihat kertas yang ia pegang, “Ayo tebak lagi.” Ujarnya.
“Bintang Aqila
Ramadhani, pak.” Reza menyebut namaku.
“Benar, juara 2
diraih oleh Bintang Aqila Ramadhani. Ayo beri tepuk tangan buat Bintang.” Ujar
pak Doni.
“What? Aku?”
kataku masih tidak percaya.
“Iya Bin, kamu.”
Kata Reza, “selamat ya Bin.” Reza mengulurkan tangannya padaku.
“Makasih ya Za.”
Kataku sambil tersenyum dan menyalami Reza.
“Oke,
selanjutnya juara 1 diraih oleh Reza Andika Prihatmaja.” Kata pak Doni
Yaa, Reza lah
juara 1 nya, dan dia lagi yang mendapatkan juara umumnya.
***
Setelah itu aku
ingat kata-kata mamaku waktu itu, yaap aku harus yakin kalau aku bisa selagi
aku mau belajar! Yah ternyata itu benar, aku bisa meraih juara 2, dan aku harus
yakin kalau aku bisa jadi Mahasiswa di Universitas X Plus tahun depan.
Setelah
ujian semester 1, aku dan Reza menghabiskan waktu liburan dengan belajar bersama,
kegiatan belajar bersama kami lakukan hingga tak terasa US, dan UN sudah kami
ikuti. Kini kami mempersiapkan otak untuk Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri
yang akan dilaksanakan bulan depan, kebetulan sekali aku dan Reza menginginkan
kampus yang sama, yaitu Universitas X Plus.
Waktu
berlalu begitu cepat, hari ini kami akan bertarung di medan perang. Yahh perang
otak, karena otaklah yang kami perlukan di medan perang ini agar bisa menjawab
semua soal maut yang ada di kertas soal ujian.
Alhamdulillah,
banyak soal yang bisa kujawab, kurang lebih 50% nomor yang aku hitamkan di
lembar jawaban. Tinggal menunggu tanggal pengumumannya saja, yang penting aku
sudah berusaha, entah bagaimana hasilnya nanti.
***
Tibalah saatnya
waktu yang ditunggu-tunggu, yaa pengumuman. Aku dan Reza melihat pengumuman
bersama secara online.
“Gimana Bin?
Lulus gak?” tanya Reza penasaran.
“Bentar Za,
masih loading.” Ehh ehh, horeee aku
lulus Za. Kamu lulus gak?” ujarku girang.
“Wah selamat ya
Bintang, aku juga lulus hehe. Hore aku berhasil.” Ujar Reza, “Tante, Bintang
lulus di Universitas X Plus.” Ujar Reza sambil menghampiri mamaku di dapur.
“Ehh, yang bener
nak Reza?” tanya mamaku.
“Iya tante,
beneran.” Ujar Reza meyakinkan mamaku.
Aku pun memeluk
mamaku, “Makasih ya ma udah buat aku yakin sama diriku sendiri.” Ujarku.
“Iya, sayang.
Benar kan apa kata mama?” ujar mama sambil tersenyum bahagia.
“Iya ma, benar.”
Jadi, pada
akhirnya semua kembali lagi pada kita. Asalkan kita ada kemauan untuk mencapai
sesuatu diiringi usaha, pasti kita bisa! Juga berpikir positif lah terhadap diri sendiri, dan ingat bahwa
usaha seseorang tidak akan pernah mengkhianati hasilnya.
Posting Komentar untuk "Cerpen - Aku Yakin, Aku Pasti Bisa!"
Gunakan kolom komentar sebagai sarana untuk bertanya sesuai postingan yang ada!