Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen - Aku Yakin, Aku Pasti Bisa!


Aku Yakin, Aku Pasti Bisa!
Karya: Yumahest

Seorang remaja wanita yang sangat polos, culun, bahkan terkesan aneh bagaikan alien yang tidak sengaja terjatuh ke planet bumi. Di sekolahnya pun ia tidak memiliki teman walaupun hanya sekedar untuk diajak bicara. Parahnya lagi, selama menempuh pendidikan ia belum pernah mencicipi duduk di bangku paling depan, ia selalu saja mencari bangku paling belakang yang menurutnya lebih pantas untuk ia tempati. Hari-harinya di sekolah terus saja seperti angin berlalu, tidak ada yang istimewa sedikitpun, semuanya datar. Ia hanya menghabiskan waktu untuk diam, mendengarkan celoteh teman-temannya terhadap dirinya, mendengarkan guru saat menerangkan pelajaran, dan pikiran yang selalu mengacu untuk segera pulang.
Kelas begitu ramai, melebihi ramainya kebisingan pasar. Semua orang bergosip dan membentuk kelompok secara melingkar, seperti ibu-ibu arisan. Itulah yang mereka lakukan setiap harinya, sampai-sampai gendang telingaku ingin pecah ketika mendengarnya.
“Oh Tuhan, kapan bel pulang berbunyi?” desahku sambil melipat tangan ke atas meja kemudian menempelkan dahi ke tangan.
Jam kosong seperti ini sangat membosankan bagi orang-orang sepertiku.
“Huuh! lebih baik aku tidur saja daripada mendengar gosipan mereka. Apalagi ini jam pelajaran terakhir, di siang hari begini membuatku semakin ingin terlelap, ditambah lagi cuaca yang sangat mendukung.” kataku dalam hati.
Aku pun mendengarkan alunan lagu dari headset yang kukenakan hingga membuatku ketiduran bahkan tidurku  pulas sekali. Headset dan ponsel selalu aku bawa ke sekolah, mereka lah teman yang setia menemaniku disaat boring menerpa diriku.
                                                                        ***
Kringggg.. Bel pulang berbunyi nyaring, tapi suara bel itu tidak berhasil membangunkanku, beberapa menit kemudian kelas menjadi sangat gaduh. Aku terbangun karena terkejut ketika mendengar sesuatu, yapp itu suara bantingan pintu, sepertinya tradisi memperebutkan pintu saat pulang telah mendarah daging pada diri mereka, seperti warga yang sedang berebut sembako. Saat mereka telah meninggalkan kelas, suasana menjadi berubah seperti kuburan, sangat sepi. Di situlah aku merasa senang dan merasa sangat nyaman, seolah aku sedang berada dalam duniaku sendiri, dunia yang hening. Aku memang lebih suka keluar kelas terakhiran, itu merupakan suatu hal yang sudah menjadi kebiasaan rutinku. Setelah aku merasa puas menikmati angin sepoi-sepoi dari jendela kelas, aku pun memutuskan untuk segera pulang.
Sesampainya di rumah, aku menyalami ibuku dan kemudian langsung bergegas pergi menuju kamarku untuk segera mengganti baju seragam sekolah yang tadi kukenakan.
“Bintang sayang, ayo turun makan siang dulu, ini mama masakin makanan kesukaan kamu lho.” bujuk mamaku.
“Iya ma, aku turun.” Jawabku singkat.
Kami pun makan tanpa banyak bicara.
“Bintang, gimana tadi di sekolah? Apa ada peningkatan belajarmu?” tanya mamaku setelah kami selesai makan siang.
“Hmm, masih kayak biasanya ma. Gak ada yang meningkat.” ujarku pelan.
“Ya udah gak apa-apa, belajar yang rajin ya sayang, biar kamu gak diejek terus sama temen-temen kamu, mama yakin kalau kamu pasti bisa ngalahin mereka.” ujar mama menasihatiku.
“Iya ma.” jawabku malas-malasan.
Yahh, mamaku tidak mungkin memarahiku, mungkin mamaku sudah lelah mendengar jawabanku yang selalu itu-itu saja, dan mungkin juga karena mamaku sudah tahu kalau sejak TK aku tidak pernah mendapatkan prestasi apa pun, baik di bidang akademik maupun nonakademik. Aku sendiri saja tidak tahu skill apa yang tertanam dalam jiwaku ini, karena aku tidak pernah merasa tergila-gila dengan sesuatu. Apalagi di bidang olahraga, yang ada malah aku benci banget sama olahraga, mungkin alasanku tidak menyukai olahraga karena kurasa hal itu akan sangat menguras tenagaku.
Lamunanku seketika membuyar ketika mama menyapaku.
“Sayang? Kamu melamun ya?” tanya mamaku sambil melambai-lambaikan tangan di depan wajahku.
“Eh iya ma, maaf ma. Hmm, ma aku ke kamar dulu ya.” kataku sambil bangkit dari kursi.
“Oh iya sayang, kamu istirahat aja dulu. Mama sampe lupa, pasti kamu capek banget karena belum istirahat dari pulang sekolah.” ujar mamaku sambil mengulum senyum dan berakhir pada ciuman hangat dari seorang ibu.
“Iya ma, aku sayang mama.” ujarku sembari memeluk mamaku.
Air mataku berlinang, tapi aku berusaha untuk menahannya supaya mamaku tidak melihatnya. Aku tidak ingin membuat mamaku sedih, aku tidak tega melihat beliau sedih karenaku.
Setelah itu aku bergegas pergi ke kamar, merebahkan tubuhku ke atas kasur sambil mengingat kembali kata-kata yang tadi mama ucapkan padaku. “Ma, maafin aku.” ujarku dalam hati. Perkataan mama masih saja belum bisa hilang dari otakku. Segera kulangkahkan kaki menuju meja belajar yang tak jauh dari tempat tidurku, lalu kuhempaskan pantatku ke sebuah kursi, menaruh ponsel disisi meja sebelah kiri kemudian membuka laci meja sebelah kanan, mengambil sebuah buku Diary dan menggoreskan tinta pena secara perlahan hingga membentuk sebuah tulisan.
“Mengapa aku sangat bodoh? Aku sudah mencoba fokus belajar tapi tetap saja sangat sulit bagiku untuk memahaminya, aku ingin membuat orangtuaku bangga kepadaku, tapi aku bingung mau mulai dari mana. Aku ingin seperti Reza yang bisa menyenangkan hati orangtuanya, selalu disanjung-sanjung banyak orang, dan tentu saja memiliki banyak teman”.
Tanganku kaku, aku sudah tak tahu lagi harus menulis apa. Lalu kututup buku Diary dihadapanku, menundukkan kepala dalam-dalam sesekali menghela napas panjang. Air mataku mulai berlinangan tak sabar ingin menetes, bahkan hanya dengan memejamkan mata saja air itu sudah membasahi pipiku, aku menangis. Seketika terlintas beberapa pertanyaan dari dalam otakku.
“Maukah Reza membantuku agar bisa pintar seperti dia? Tapi apakah dia mau berteman denganku? Bagaimana caranya supaya Reza mau berteman denganku dan bahkan membantuku? Ahhh, tapi mana mau Reza berteman sama orang sepertiku? Apalagi Reza kan sang Pahlawan Super Pintar di kelas, mana mau dia berteman denganku, duh mimpimu terlalu tinggi tau nggak sih Bin.” ujarku dalam hati sambil menepuk dahiku dengan tangan kanan.
Clingting... aku tersontak kaget karena mendengar dering ponselku, kulihat layar ponselku, ada pesan masuk yang aku tidak tau siapa pengirimnya karena nomor itu baru dan tidak ada di daftar kontakku. Aku tidak langsung membuka pesan, mataku masih membelalak melihat ponsel dengan penuh keheranan, sebuah pertanyaan muncul di otakku.
“Ini nomor siapa ya?” pikirku dalam.
Lalu kucoba untuk membuka pesan itu, isi dari pesan itu ialah “Hai Bintang.” Mulutku menganga, pertanyaan-pertanyaan semakin menyerbu otakku.
“Ini siapa sih ya? Kok tau namaku? Apakah dia sekelas denganku? Tapi kan aku gak punya temen di kelas, terus dia dapet nomor ponselku dari mana?” gumamku.
Tiba-tiba masuk pesan baru lagi dari pengirim yang sama. Aku langsung cepat-cepat membukanya dan isi dari pesan itu adalah “Hai Bintang, ini aku Reza. Oh iya pasti kamu bingung kan gimana aku bisa punya nomor ponselmu?”
Aku semakin bengong karena pemilik nomor itu ialah Sang Pahlawan Super Pintar di kelasku, Reza Andika Prihatmaja.
Aku pun segera membalas pesan tersebut.
“Eh Reza, iya nih Za kok kamu bisa punya nomor ponselku, dapat dari mana?” balasku.
Tanpa menunggu lama, Reza sudah membalas pesan dariku.
“Dapat dari ponselmu Bin, hehe” balasnya singkat tapi mampu membuat mataku terbelalak membacanya.
Banyak pertanyaan muncul di otakku, tanpa berpikir panjang kuketikkan semua pertanyaan konyol itu.
“Hah, dari ponselku? Gimana bisa? Kayaknya aku gak pernah tuh pinjemin hpku ke orang di kelas, apalagi kamu. Aku kan gak punya temen di kelas.” balasku seperti sedang mewawancarai narasumber.
“Hehe iya Bin dari ponselmu, memang kamu gak pernah minjemin hp kamu ke aku. Tadi di sekolah  ponsel yang kamu pegang mau jatuh waktu kamu ketiduran. Aku gak tega mau bangunin kamu, karena kayaknya pulas banget kamu tidurnya hehe. Jadi ponsel kamu aku ambil pelan-pelan supaya kamu gak kebangun, dan sebelum aku taruh ke laci meja kamu, nomor ponsel kamu aku salin ke hpku. Maaf ya Bin, soalnya aku pikir kamu butuh teman untuk berbagi cerita di kelas. Boleh kan Bin aku jadi temenmu?” balasnya panjang kali lebar kali tinggi dan disertai pertanyaan yang membuat mulutku menganga.
“Oh gitu ya, iya gak apa-apa Za. Hmm, iya boleh. By the way, kok kamu mau jadi temenku sih Za? Padahal kan kamu tau sendiri orang-orang di kelas benci dan  jijik banget buat berteman sama aku.” balasku.
“Karena aku tau kamu sering kesepian di kelas, bahkan kamu dianggap transparan sama mereka. Oh iya, mulai besok aku mau pindah tempat duduk di samping tempat dudukmu, harus boleh ya Bin hehe, biar kamu gak melamun terus wkwk.” balasnya sambil meminta yang berkesan seolah memaksa.
“Terserah kamu aja deh.” balasku singkat dan pasrah.
“Oke Bin, sampai ketemu besok ya.” balasnya kemudian yang sekaligus menjadi perbincangan terakhir pada hari ini, karena aku tidak lagi membalas pesan dari Reza.
                                                                        ***
Tok tok tok.. mama mengetuk pintu kamarku.
“Sayang ayo bangun, nanti kamu terlambat ke sekolah lho” ujar mama membangunkanku dari seberang pintu kamarku.
Kulihat jam weker di meja sebelah tempat tidurku, “oh my god, sudah jam 6 lewat”, ujarku lirih.
“Iya ma, Bintang udah bangun kok” sahutku.
“Nanti kalo udah selesai, cepat turun ya sayang” ujar mamaku mengingatkan untuk sarapan terlebih dahulu sebelum pergi ke sekolah. “Iya, ma.” jawabku singkat. Tanpa berlama-lama lagi aku langsung bergegas mandi dan bersiap secepat mungkin.
Setelah selesai bersiap, aku langsung menuju ruang makan, ada mama sama papa disana. Selesai sarapan, aku dan papa bergegas pergi. Setiap hari papa lah yang mengantarku ke sekolah, karena kantor papa melewati sekolahku. Untung saja hari ini jalanan tidak terlalu macet, sehingga aku tidak terlambat masuk sekolah. Yahhh, aku sampai ke depan gerbang sekolah 15 menit sebelum gerbang akan ditutup.
“Pa, aku masuk dulu ya.” ujarku sambil menyalami tangan papa.
“Iya sayang, yang rajin ya belajarnya.” ujar papa sambil mengusap kepalaku disertai senyuman tipis yang menenangkan hati.
                                                                        ***
Di depan pintu kelas, Reza menghadangku, tangannya direntangkan sampai memenuhi pintu. “Jam segini kamu baru berangkat? Biasanya kalo aku masuk kelas, kamu udah ada di kelas.” ujarnya sambil menurunkan tangan. Aku yang mengetahuinya langsung melangkahkan kaki untuk segera masuk tanpa megucap sepatah kata pun. “Eh eh eh, mau kemana?” ujar Reza menghentikanku dengan tangan kanannya di bahu kiriku. “kamu mau masuk sendirian? Gak bisa, aku harus ikut!” ujarnya sembari menarik lengan tanganku sehingga jalanku tepat berada di sampingnya.
Setelah duduk dan mengikuti pelajaran pertama aku tetap mengunci mulutku. Sembari menunggu guru pelajaran berikutnya masuk, aku masih duduk dengan sikap tegang, entah kenapa tak biasanya aku tegang begini. Mungkin karena Reza berada di sampingku, yaa aku menyukai Reza, tapi tidak mungkin Reza menyukai orang sepertiku.
Reza yang awalnya menghadap kedepan tiba-tiba mengubah posisi duduknya ke samping kanan, memutarkan posisi dudukku 90° ke kiri, sehingga kami berhadapan. Aku masih tetap diam dengan kepala tertunduk, aku tidak berani bertatapan dengannya.
“Kok kamu dari tadi diam aja sih? Kan ada aku sekarang, masa aku dicuekin. Kamu udah ada temen sekarang. Bin, coba deh liat aku.” ujarnya.
Aku menuruti permintaannya, sekarang aku melihat kedepan. Dag dig dug, jantungku berdebar tidak beraturan karena Reza terus menatapku. Kami pun saling bertatapan dalam diam.
Tatapan kami berakhir ketika guru Bahasa Indonesia masuk, guru menjelaskan hingga akhirnya diberi PR. “Kerjakan dengan teman sebangkumu”, tulisan itu tertera di buku cetak.
“Eh Bin nanti langsung kerjain aja yuk PR nya, ngerjainnya di rumahmu aja. Nanti kamu pulangnya sama aku aja.” ujar Reza setelah guru bahasa Indonesia meninggalkan kelas.
“Hmm, oke Za.” ujarku sambil tersenyum tipis.
“Oh iya udah istirahat nih Bin, kamu gak mau ke kantin?” tanya Reza padaku. Aku hanya menggelengkan kepala.
“Bentar ya Bin, aku ke kantin dulu. Kamu mau pesen dibeliin apa?” Reza menawariku.
“Gak ada Za.” jawabku singkat. Reza pun segera berlalu dari hadapanku.
Setelah Reza pergi, Katty cs menghampiriku sambil memarahiku karena Reza pindah duduk di sampingku yang awalnya Reza duduk di depan bangkunya. Sebelum Katty menghajarku, tiba-tiba Reza datang melindungiku. Reza balik memarahi Katty. “Aku sendiri kok yang mau duduk sebangku sama Bintang, Bintang gak pernah nyuruh aku, malahan aku yang maksa ke dia kalo aku mau duduk sebangku sama dia” Reza menjelaskan. Katty tak bisa berkata apapun dan akhirnya memutuskan untuk meninggalkan kami.
Reza menyuruhku duduk, dia memberiku roti dan minum yang tadi sengaja ia beli untukku, dia tersenyum. “Udah, gak usah dipikirin sama yang Katty bilang tadi.” Ujarnya berusaha menenangkanku.
                                                                        ***
Tak terasa pelajaran hari ini telah selesai, aku beranjak dari tempat dudukku dan lewat di samping Reza yang sedang berdiri di dekat bangkunya. “Eh eh eh, mau kemana nona? Kamu kan pulang sama aku, aku nungguin kamu kok malah mau ditinggalin.” ujarnya sembari menarik lengan tanganku hingga langkahku benar-benar terhenti.
Sesampainya  di rak sepatu, Reza menungguku mengenakan sepatu, aku mengenakannya tepat dihadapan Reza. Setelah selesai aku pun berdiri, tiba-tiba ada yang mendorong Reza dari belakang; aku terjatuh ke lantai karena tidak sengaja terdorong oleh tangan Reza yang kemudian Reza pun juga terjatuh, tubuh Reza menimpa tubuhku.
Suasana seketika menjadi hening, semua orang terfokus pada kami. Kemudian Reza bangkit dan membantuku berdiri. Aku menangis dan kemudian berlari meninggalkan tempat itu, Reza mengejarku dan terus mengucapkan permintaan berulang kali, tapi aku tetap terus berlari.
“Bin, tunggu. Aku minta maaf.” teriak Reza sambil terus mengejarku.
Hingga sampai di dekat taman depan sekolah Reza berhasil mengejarku, dia mencekal pergelangan tanganku dan mengajakku duduk di taman.
“Bin, aku minta maaf.” ujarnya sambil menundukkan kepala. “Itu tadi kecelakaan, ada orang yang mendorongku tadi.” ujarnya lagi menjelaskan.
“Iya, udah aku maafin kok Za. Itu tadi bukan salah kamu kok.” ujarku.
“Tapi ngapa kamu malah lari ninggalin aku Bin?” tanyanya.
“Semua orang terfokus sama kita Za, aku malu.” ujarku sambil masih meneteskan air mata.
Reza mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya, “Bin, maaf ya, karena aku kamu jadi nangis, dan aku pula yang harus menghapus air mata itu.” ujarnya sambil menghapus air mata yang bercucuran dipipiku dengan sangat lembut. “Udah, kamu jangan nangis lagi ya.” ujarnya sambil tersenyum.
Tiba-tiba Reza menarik lengan tanganku, mengajakku ke parkir motor. Dia mengajakku untuk segera pulang. Selama di perjalanan, aku hanya diam, tapi Reza terus menghiburku dengan leluconnya, hingga akhirnya kami tertawa bersama.
                                                            ***
Setelah sampai di rumahku, mama langsung membukakan pintu.
“Sayang, dia siapa? Temen kamu?” Mama bertanya padaku sedikit heran, karena baru kali ini aku pulang sama teman.
“Iya ma, dia temen sebangku aku mulai hari ini. Namanya Reza, dia siswa paling pintar di kelas.” Kataku menjelaskan.
“Reza tante, temen sebangkunya Bintang.” Reza menyalami tangan mamaku.
“Ayo masuk dulu, silakan duduk dulu nak Reza, tante mau buatin minum dulu. Oh iya nak Reza mau minum apa?” ujar mamaku.
“Terserah tante aja, sama kayak minumnya Bintang aja deh tante hehe.” Ujar Reza sambil tertawa kecil.
“Oke, tunggu bentar ya nak Reza.” Ujar mama sembari meninggalkan kami.
15 menit kemudian mama datang membawa minuman dan beberapa makanan, lalu meletakannya di atas meja.
“Oh iya, nak Reza di semester 1 kemarin dapat rangking berapa?” Tanya mamaku pada Reza.
“Alhamdulillah rangking 1 tante.” Katanya sambil menggaruk kepala.
“Kalau Reza sih dari kelas 1 semester 1 sampe kelas 2 semester 2 ini juara umum terus ma” sahutku.
“Subhanallah nak Reza, benarkah yang dikatakan Bintang?” tanya mamaku lagi.
“Hehe, iya tante.” Jawab Reza.
“Hmm, tante boleh minta tolong sama nak Reza gak?”
“Minta tolong apa tante?” tanyanya penasaran.
“Nak Reza bisa ngajarin Bintang gak? Tahun depan kan sudah mau UN, Seleksi Masuk Perguruan Tinggi juga. Sedangkan Bintang dari kelas 1 SMA gak ada peningkatan. Siapa tau kalau diajarin nak Reza dia jadi bersemangat karena ada teman belajar. Kalau bisa belajar barengnya setiap hari ya nak Reza, sehabis pulang sekolah. Gimana nak Reza?” tanya mamaku.
“Eh, apaan sih ma.” Sahutku.
“Oke tante, bisa kok. Jadi, setiap hari Bintang pulangnya sama aku aja ya tante hehe.” Jawab Reza menyetujui permintaan mamaku.
“Eh Za, berarti pulang sekolah langsung belajar bareng di rumahku? Masih pake seragam sekolah langsung belajar?” tanyaku kebingungan.
“Ya enggak lah Bin, kamu ganti baju biasa dulu, makan dulu, habis itu baru kita belajar.” Reza menjelaskan.
“Ya udah kalau gitu.” Jawabku singkat.
“Oke, besok kita mulai belajar bareng yaa hehe. Ya udah ayo kita kerjain PR nya.” Ujar Reza.
“Ya udah, ayo.”
                                                            ***
Setelah selesai mengerjakan PR, Reza pamit pulang.
“Tante, Reza pulang dulu ya.” Ujarnya sembari menyalimi tangan mama.
“Iya nak Reza, hati-hati ya.” Kata mama.
Setelah Reza menghilang dari pagar rumah, aku membalikkan tubuhku dan segera ingin pergi ke kamar. Tiba-Tiba...
“Bintang, ayo duduk di kursi situ dulu.” Kata mama sambil menunjuk kursi tempat kami tadi duduk.
Aku pun duduk di samping mama.
“Sayang, kamu kan udah kelas 3. Jadi belajar yang rajin ya, biar bisa kayak Reza. Biar kamu lulus, terus bisa lulus Seleksi Perguruan Tinggi Negeri di Universitas X Plus. Kamu pasti bisa sayang, percayalah kalau kamu bisa selagi kamu mau belajar nak. Usaha tidak pernah menghianati hasil, ingat kata-kata mama.” Ujar mama menasehatiku dan kemudian memelukku.
“Oke ma, Bintang akan berusaha dan akan selalu ingat kata-kata mama.” Ujarku.
Keesokan harinya sepulang sekolah, aku dan Reza mulai belajar bersama. Reza selalu menjelaskan semua yang kutanyakan. Aku juga mencoba mengerjakan soal-soal, dan Reza lah yang mengecek jawabanku. Kegiatan belajar bersama kami lakukan hingga tak terasa ujian semester 1 telah selesai dilaksanakan, dan orang pertama yang penasaran dengan hasil ujianku adalah Reza, karena dia takut gagal mengajariku dan takut membuat mamaku kecewa kepadanya.
Pengumuman juara kelas di umumkan di lapangan upacara, hingga tibalah saatnya kelas 12 IPA 1. “Juara 3 diraih oleh Shelly Permata Putri, juara 2 diraih oleh.... Hayo ada yang tau siapa?” Kata Bapak Kepala Sekolah.
“Diana Habsari, pak.” Kata salah seorang siswi di kelasku, karena Diana lah yang biasanya mendapatkan juara 2 di kelas kami.
“Salah.” kata pak Doni sambil melihat kertas yang ia pegang, “Ayo tebak lagi.” Ujarnya.
“Bintang Aqila Ramadhani, pak.” Reza menyebut namaku.
“Benar, juara 2 diraih oleh Bintang Aqila Ramadhani. Ayo beri tepuk tangan buat Bintang.” Ujar pak Doni.
“What? Aku?” kataku masih tidak percaya.
“Iya Bin, kamu.” Kata Reza, “selamat ya Bin.” Reza mengulurkan tangannya padaku.
“Makasih ya Za.” Kataku sambil tersenyum dan menyalami Reza.
“Oke, selanjutnya juara 1 diraih oleh Reza Andika Prihatmaja.” Kata pak Doni
Yaa, Reza lah juara 1 nya, dan dia lagi yang mendapatkan juara umumnya.
                                                            ***
Setelah itu aku ingat kata-kata mamaku waktu itu, yaap aku harus yakin kalau aku bisa selagi aku mau belajar! Yah ternyata itu benar, aku bisa meraih juara 2, dan aku harus yakin kalau aku bisa jadi Mahasiswa di Universitas X Plus tahun depan.
            Setelah ujian semester 1, aku dan Reza menghabiskan waktu liburan dengan belajar bersama, kegiatan belajar bersama kami lakukan hingga tak terasa US, dan UN sudah kami ikuti. Kini kami mempersiapkan otak untuk Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri yang akan dilaksanakan bulan depan, kebetulan sekali aku dan Reza menginginkan kampus yang sama, yaitu Universitas X Plus.
            Waktu berlalu begitu cepat, hari ini kami akan bertarung di medan perang. Yahh perang otak, karena otaklah yang kami perlukan di medan perang ini agar bisa menjawab semua soal maut yang ada di kertas soal ujian.
Alhamdulillah, banyak soal yang bisa kujawab, kurang lebih 50% nomor yang aku hitamkan di lembar jawaban. Tinggal menunggu tanggal pengumumannya saja, yang penting aku sudah berusaha, entah bagaimana hasilnya nanti.
                                                                        ***
Tibalah saatnya waktu yang ditunggu-tunggu, yaa pengumuman. Aku dan Reza melihat pengumuman bersama secara online.
“Gimana Bin? Lulus gak?” tanya Reza penasaran.
“Bentar Za, masih loading.” Ehh ehh, horeee aku lulus Za. Kamu lulus gak?” ujarku girang.
“Wah selamat ya Bintang, aku juga lulus hehe. Hore aku berhasil.” Ujar Reza, “Tante, Bintang lulus di Universitas X Plus.” Ujar Reza sambil menghampiri mamaku di dapur.
“Ehh, yang bener nak Reza?” tanya mamaku.
“Iya tante, beneran.” Ujar Reza meyakinkan mamaku.
Aku pun memeluk mamaku, “Makasih ya ma udah buat aku yakin sama diriku sendiri.” Ujarku.
“Iya, sayang. Benar kan apa kata mama?” ujar mama sambil tersenyum bahagia.
“Iya ma, benar.”
Jadi, pada akhirnya semua kembali lagi pada kita. Asalkan kita ada kemauan untuk mencapai sesuatu diiringi usaha, pasti kita bisa! Juga berpikir positif  lah terhadap diri sendiri, dan ingat bahwa usaha seseorang tidak akan pernah mengkhianati hasilnya.

Posting Komentar untuk "Cerpen - Aku Yakin, Aku Pasti Bisa!"